Ketika Jauh Rindu Itu Datang My Priceless Family
Oleh: Nana Chyintia
Waktu menunjukkan pukul 21:00 waktu Taiwan. Aku menarik selimut dan menyalakan AC kamarku, dikarenakan Taiwan sedang memasuki musim panas jadi harus menyalakan AC jika tidak pasti akan
begadang semalaman karena susah tidur.
Kebiasaanku sebelum tidur membayangkan hal-hal yang pernah terlewati atau pun yang belum terlewati, terkadang aku memikirkan menikah,
memiliki anak, sampai hidup menjadi orang kaya raya memiliki kendaraan mobil keren.
Aduhhh ... Menghayal banget hidupku. Aku juga sering membayangkan dulu saat berkumpul dengan keluargaku, saat aku masih kecil, hingga aku sekolah SMP.
Enak banget ya hidup ini hidup dengan bayangan, etzzz ... Jangan sampai impian kalian hanya
bayangan saja, perjuangkan mimpi kalian!
Oh iya, aku sampai lupa memperkenalkan namaku. Panggil saja aku Nana, aku anak nomor satu dari
tiga bersaudara. Keluargaku adalah keluarga yang sangat sederhana namun kami bisa menikmati setiap tetes embun pagi dengan hangatnya kopi.
Ayahku seorang petani, dan ibuku hanya ibu rumah tangga.
Adik perempuanku masih duduk di bangku kelas dua SMP namun badan adikku lebih besar dan
tinggi dariku, dan adik laki-laki masih duduk di bangku kelas empat SD yang setiap hari merengek minta sunat, karena melihat
kakak-kakak kelasnya sunat. Hobby kami sekeluarga sama yaitu bermain volly ball, entah dari mana kecintaan kami sama bola putih itu. Ya, mungkin karena bakat dari orang tua kami. Selain bola putih adik
laki-lakiku menyukai sepeda gestrek, yang masih boming-bomingnya di desaku.
Aku ingat dulu waktu aku kecil sewaktu belajar menaiki sepeda, ibuku memegangi sepeda yang
hendak aku naiki dengan pelan-pelan beliau menuntun ayuhan kakiku sampai roda itu berputar berkali-kali hingga beberapa meter dari tempat aku mulai mengayuh.
Aku senang bisa mengayuh sepeda walaupun masih dipegangi oleh ibuku, rasa senangku membuat
semangat untuk belajar lagi. Keesokan harinya aku berlatih lagi dengan ibuku, pada ayuhan pertama kakiku mengayuh dengan santai dan pada hitungan kelima ibuku melepaskan genggaman tangannya dari setir sepeda. Byusss ... “Horeee ... Aku bisa” teriakku kencang karena senang bisa mengayuh sepeda tanpa dipegangi. Karna terlalu senang aku bisa, sampai-sampai aku lupa dengan kecepatan kakiku mengayuh putaran.
Pada saat itu ibuku teriak “Belok dan berhenti” kata ibuku dari kejauhan.
Brukkk ... Suara sepedaku menabrak gorong-gorong depan rumah, semua pada lari menghampiriku. Namun, apa yang terjadi aku tidak ditemukan. Hahaha ... Aku masuk ke tengah gorong-gorong, aku keluar dengan pelan-pelan sesampainya di hadapan ibu aku baru menangis kesakitan. Benjolan keningku, dan goresan di
kepala meninggalkan luka sampai berdarah untung saja tidak bocor.
***
Terkadang aku senyum-senyum sendiri jika mengenang kejadian itu.
Rasanya ingin kembali ke masa di mana hanya ada bermain dan menangis untuk dimanja. Aku tidak dekat dengan ayahku, tidak tahu kenapa. Ya ... Mungkin karena aku pendiam. Sampai mata ini sulit terpejam ketika merindukan kejahilan adik-adikku.
Adikku yang laki-laki suka sekali meledek kakaknya,
saat kita sedang menonton TV sambil rebahan dia ada saja yang
dimainkan menyuruh kami menemaninya bermain ular tangga sampai mengikat tangan kakaknya
untuk dinaiki seperti kuda-kudaan. Mau tidak mau, harus mau jika adik laki-lakiku yang mengajak. Jika tidak mau, bakalan mampus di tonjok habis-habisan. Dia sangat galak, dan terbilang nakal. Namun, hal itu yang membuatku tidak betah hidup
merantau jauh dari mereka.
Dulu, sewaktu aku di rumah. Aku sering mengantar adik perempuanku berangkat sekolah.
Segerombolan teman-temannya duduk di depan pagar pintu masuk untuk menunggu bel masuk kelas.
“Mbak, tadi temanku ada yang tanya” ucapnya asik mencuci baju selepas pulang sekolah, setiap
pulang sekolah dia dibiasakan mencuci baju seragamnya agar tidak terlalu kotor.
“Tanya apa?” jawabku sambil bersender tiang mengawasinya
Dia lari menghampiriku “Bentar-bentar” tangannya merangkul kakiku “Jangan terbang ya”
Aku bingung melihatnya, mengapa ini anak memegangi kakiku.
“Aku pegangi biar nggak terbang” katanya ketus. Serentak membuat aku dan ibuku yang mendengar
tertawa terbahak-bahak.
“Kata temanku ... Kamu cantik Mbak” masih memegangi kakiku malah semakin erat
“Hahaha ... Ada-ada saja adikmu” sahut ibu memegangi gorengan tempe, dan kami kembali tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata.
***
Malam terus berlalu dari detik ke menit, menit ke jam yang terus berputar. Mata ini masih enggan terpejam, tidak! Mata ini terpejam namun hati belum mau terpejam. Masih saja aku membayangkan hal-hal bahagia bersama keluarga tercinta. Seperti akhir pekan, kami selalu tidur di rumah nenek yang
tinggal dibeda desa. Nenek sendirian jadi kami harus sering-sering menengoknya dan menemaninya sesekali. Kami jarang keluar untuk makan di luar atau pun
rekreasi, karena hobby kami mancing di kolam belakang rumah lalu hasil pancingan di bakar dekat
kolam. Kalau sudah masalah pancing dan bakar-bakar adik laki-lakiku paling suka, biasa anak cowok hobbynya petualang. Bayangan itu terus terbawa dalam
lamunanku sampai menemaniku tertidur pulas.
Taiwan, 11 Juni 2016.
Komentar